Kamis, 19 Juni 2014

Si Penggoda dan yang Tergoda, Siapa yang Salah?




Ada yang suka nonton ‘Catatan Hati Seorang Istri’ di RCTI? Kalau bukan sinetron yang diadaptasi dari bukunya Bunda Asma Nadia, mungkin aku nggak begitu tertarik buat ngikutin tayangannya. Tapi berhubung Bunda Asma Nadia adalah salah satu penulis favoritku, jadi aku merasa ‘wajib’ nonton. (Duh, kenapa nggak dibikin versi layar lebar aja sih, Bun?)  

Catatan Hati seorang Istri ini kalau dalam versi bukunya merupakan kumpulan kisah inspiratif. Sayang sekali masih ada di daftar antrian buku yang wajib saya beli, jadi belum bisa meresensi, hihihi. (Makanya nonton filmnya aja dulu … he.)

Tapi kali ini saya nggak bermaksud mengupas tentang buku atau film Catatan Hati Seorang Istri. Anggap aja cuma prolog buat gambaran dari apa yang mau saya tulis kali ini. Masih ada hubungannya kok, soalnya ini berkaitan dengan hubungan sepasang suami istri yang tengah diuji kesetiaannya.

Dalam suatu hubungan, apa pun itu, pasti nggak lepas dari yang namanya masalah, itu hal yang wajar. Masalah yang timbul bisa jadi dari pihak istri atau suami. Untuk masalah kesetiaan, pasti ada yang namanya pihak ketiga, sebut saja si penggoda. Nah, masalahnya … apakah akan terjadi masalah bila si penggoda tak berhasil menggoda? Itu tandanya tak ada yang tergoda, kan? Kalau ada? Berarti siapa yang salah dong? Apakah si penggoda? Toh kalau yang digoda nggak tergoda juga nggak akan terjadi yang namanya perselingkuhan, bukan?

Jangan bingung dulu, intinya gini. Siapapun pihak yang merasa dirugikan dengan hadirnya pihak ketiga kalau menurut saya bukanlah hal yang pantas untuk diributkan. Justru itu seharusnya jadi bahan introspeksi diri. Kok bisa jadi begini sih? Kenapa? Apa yang salah? Sebab bermula dari akibat lhoo, nggak mungkin ada asap kalo nggak ada api. Jadi intinya, untuk menghadapi pasangan yang tergoda nggak perlu pake emosi. Berkaca aja pada diri sendiri. Apa yang salah dalam diri sehingga tidak bisa mengikat hati pasangan, sampai-sampai pasangan bisa berpaling ke lain hati (baca: tergoda). Kalau masalah tabiat mungkin itu cuma kambing hitam dan alasan untuk menghibur diri sendiri untuk menutupi rasa malu dan nggak mau dipersalahkan (baca: membela diri).

Manusiawi sekali kalau khilaf bisa terjadi. Tapi si penggoda nggak akan berhasil kalau yang digoda punya iman yang kuat dan keteguhan hati untuk nggak pindah ke lain hati. Dalam hal ini saya nggak memihak kubu si penggoda atau yang tergoda. Saya berada di tengah-tengah sajalah. Nggak mau nyalahin siapa-siapa. Yang pasti cuma butuh antisipasi dini agar jangan sampai mengalami. Jangan jadikan khilaf sebagai tameng mengatasnamakan ‘hanya manusia biasa’. Sebab bila sudah khilaf berkepanjangan akan sulit untuk dihilangkan. 

Siapa yang bisa melarang orang jatuh cinta? Siapa yang bisa menahan hati bila sudah tak merasa nyaman dan ingin pergi? Kesetiaan terletak pada kenyamanan dan terpenuhinya kebutuhan, jadi bila pasangan Anda sudah tak setia, berarti dia sudah nggak nyaman lagi dengan Anda, dan ada sesuatu yang nggak terpenuhi kebutuhannya. Bukannya udah nggak cinta atau hilang rasa sayang, faktanya pasangan yang berselingkuh masih bisa mempertahankan hubungan dengan pihak pertama kok. (Survey membuktikan lhoo.)

Khilaf dan musibah nggak akan terjadi bila mampu mawas diri. Cinta itu ibarat tumbuhan, perlu dijaga, dirawat, dipelihara dengan baik. Akan tumbuh subur bila selalu diberi asupan bergizi. Intinya dalam sebuah hubungan yang dibutuhkan hanyalah take and give, itu aja kok. Tabiat jelek, akhlak bejat dan sifat yang berkarat masih bisa diperbaiki lho, asal ya itu tadi, terpenuhi semua kebutuhannya. Jadi bukan alasan kalo pihak pertama sudah setia mati-matian kok masih bisa tergoda juga? Sudah tahu jawabannya, kan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar