Secangkir
Kenangan
Oleh: Mel A.
Aku masih di sini, di tempat yang tak pernah kau lihat.
Aku selalu mengamatimu sejak pertama kali kau mengunjungi kedai kopi sederhana
ini. Tampaknya kau tergila-gila pada tiap cangkir kopi yang kau sesap hingga
tak bersisa. Kau selalu datang dengan wajah lusuh, penat tampak jelas terukir
di wajah tampanmu itu. Kau memang tampan, dengan alis tebal terukir jelas dan
hidung mancung serta lesung pipi yang menambah keindahan wajah tampanmu.
Ada satu hal yang membuatku selalu
bertanya-tanya, setiap kau sudah duduk di salah satu sudut favoritmu dan
membuka gadget, spontan senyummu
mengembang diselingi dengan tawa. Wajahmu mendadak ceria dan penatmu tampak
hilang seketika. Aku sangat ingin tahu, apa yang membuatmu menjadi seperti itu?
Apakah aroma kopi hitam yang menguar dari cangkirmu itu yang mengubah bad mood-mu? Atau ada sesuatu lain di
layar gadget-mu yang mampu menyihirmu
menjadi ceria seketika.
Tak jarang kau menelepon entah
siapa. Yang pasti kau sedang berbicara dengan seorang wanita. Dari namanya yang
kau sebut sudah jelas lawan bicaramu adalah seorang wanita. Hana, itu nama yang
selalu kau panggil diiringi kata sayang setelahnya. Hana sayang, kamu lagi apa?
Hana sayang, kamu hari ini pakai baju apa? Hana sayang, kamu lagi di mana?
Sepertinya wanita bernama Hana itu sangat spesial bagimu.
Setiap hari yang kausebut selalu nama Hana, seolah tak ada yang lain lagi yang
bisa kau ajak bicara selain Hana. Aku selalu memperhatikanmu, walau kau tak
pernah pedulikan aku sedikitpun. Bahkan kau seolah tak pernah menyadari
kehadiranku yang selalu ada di satu sudut lain kedai ini. Kau selalu sibuk
dengan gadget dan cangkir kopimu.
Sesekali aku menguping pembicaraanmu,
kau kerapkali membahas tentang kopi kesukaanmu. Pembicaraan tentang kopi sangat
mendominasi di setiap teleponmu dengan wanita bernama Hana itu. Tampaknya
wanita di seberang sana juga mempunyai kesukaan yang sama denganmu, minum kopi.
Tak ada bosannya kalian membahas tentang kopi dan kopi.
Walaupun kerap kudengar kau berdalih
setiap Hana memarahimu jika kopi yang kau minum sudah melebihi batas normal.
Kau mempunyai penyakit asam lambung dan maag yang sudah kronis, tak seharusnya
kau merasa aman dengan kopi hitam kesukaanmu itu. Tapi kau memang bandel, tetap
saja tak mengurangi kebiasaanmu meminum kopi setiap hari.
Tak pernah sekali pun kau tak datang
ke kedai ini setiap harinya, kecuali hari libur kerjamu. Tak jarang kau
mengeluh tentang kopi buatan istrimu yang tak sesuai dengan seleramu. Tunggu!
Istri? Apakah kau sudah mempunyai istri? Lalu siapakah Hana yang selalu kau
panggil sayang itu? Aku mulai tak mengerti, ada apa dengan kehidupan pribadimu
dan apa statusmu? Kenapa ada dua wanita dalam hidupmu? Entah apa masih ada
wanita lain selain Hana dan istrimu yang tak aku tahu. Kenapa aku jadi sangat
ingin tahu dan sungguh tertarik padamu?
Kau memang menarik, itu yang aku
rasakan sejak pertamaku melihatmu. Terlepas dari keinginanku yang sangat ingin
kau juga memperhatikanku setiap kali kau singgah di kedai kopi ini. Sederhana
saja, aku ingin kau melihatku, hanya itu. Aku tak pernah berharap lebih dari
itu. Entah bagaimana caranya agar aku bisa menarik perhatianmu. Kau selalu
disibukkan oleh gadget dan Hana serta
kopi hitammu. Seolah tak ada hal lain yang mampu menarik perhatianmu selain hal
itu.
Selain pembicaraan tentang kopi, kau
dan Hana selalu membahas tentang petualangan. Sepertinya kau sangat ingin
bepergian berdua dengan Hana berkeliling Indonesia. Mulai dari Aceh Tenggara,
tepatnya di dataran tinggi tanah Gayo, tempat yang terkenal dengan kopi Gayo.
Lalu ceritamu beralih ke Sulawesi Selatan, sepertinya kau sangat penasaran
dengan kopi Toraja. Kau pun sangat ingin bertandang ke Bangli, menyesap kopi
Kintamani seraya berlibur ke pulau Bali. Hingga sampailah khayalanmu menuju
Wamena, ingin juga kau menikmati aroma kopi arabika Wamena di lembah pegunungan
Jaya Wijaya, Papua.
Semua perbincanganmu dengan Hana
selalu tentang khayalan akan sebuah petualangan beraroma kopi. Kalian sangat
ingin menjelajah setiap daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia, keluar dari
rutinitas harian yang membosankan dan merengkuh kebersamaan kalian yang selama
ini hanya kalian nikmati melalui dunia maya dan gelombang suara saja. Hey ...
jadi selama ini kalian belum pernah bertemu di dunia nyata?
Aku ingat tentang cerita kalian akan
sebuah pertemuan di dunia nyata yang hingga detik ini belum juga terlaksana.
Impian kalian untuk hidup bersama dalam sebuah petualangan dan menuliskan kisah
kalian dalam sebuah cerita panjang tentang cinta yang entahlah kalian pun tak
pernah tahu akan mengarah ke mana. Aku sangat iri dengan kisah kalian yang
penuh dengan impian dan harapan untuk dapat bahagia bersama. Sangat indah
sekali khayalan kalian berdua.
Sudah cangkir kedua. Hari ini tak
biasanya kau menghabiskan waktu lebih lama di tempat ini. Dan kegiatanmu masih
saja berkutat dengan gadget serta
perbincanganmu dengan Hana. Senja telah beranjak menuju pekatnya malam dan kau
masih saja tak bergerak dari sudut favoritmu itu. Aku pun merasa senang karena
hari ini bisa menikmati senyum manismu lebih lama dari biasanya.
Besok hari Sabtu dan Minggu, dua
hari ke depan aku pasti akan sangat merindukanmu. Kau libur dari rutinitas
kerjamu dan Senin sore baru aku bisa melihatmu lagi di sini. Entahlah, kenapa
aku selalu menantikanmu setiap waktu. Walau tak pernah sekali pun aku bisa
menarik perhatianmu dan menggeser posisi cangkir kopi hitammu itu. Tapi tak
mengapa, bisa melihat senyummu saja sudah cukup bagiku. Kau memang selalu mampu
membuatku terus merindumu.
***
Ada pemandangan lain sore ini. Sudut
favoritmu kulihat tak lagi di tempati hanya kau sendiri. Ada seorang wanita
manis dengan rambut ikal sebahu menemanimu duduk sambil menyesap secangkir
kopi. Kau tak lagi sendiri ke tempat ini, baru kali ini sejak setahun terakhir
kesendirianmu menikmati secangkir kopi hitam dan kini ada sosok lain
menemanimu. Yang membuatku terkejut, kau memanggilnya dengan nama yang biasa
kau sebut di setiap pembicaraanmu di telepon, Hana. Akhirnya kalian berjumpa!
Kulihat ada rona bahagia memancar di
wajah kalian berdua. Dan pembicaraan kalian masih saja sama, tentang impian
akan petualangan keliling Indonesia ke tempat penghasil kopi terbaik yang
pernah ada. Dalam waktu dekat kalian merencanakan akan merealisasikannya. Tapi
tunggu dulu ... Mengapa kini kalian berdebat tentang hubungan kalian yang tidak
pernah ada kejelasan? Kau bergeming saat kudengar Hana memintamu untuk memilih.
Jalani hidupmu yang baru dengan Hana atau lupakan saja impian kalian selama
ini. Kudengar kalian berdebat dan bertengkar hebat, hingga secangkir kopi panas
yang belum tandas kalian tinggalkan begitu saja.
Ada apa dengan kalian? Yang
menantikan indahnya pertemuan namun berakhir
dengan keributan akan kepastian sebuah hubungan. Apakah selama ini kau
hanya memberinya harapan palsu? Teganya dirimu! Mendadak aku benci padamu wahai
lelaki tampan! Kau yang ternyata adalah suami orang dengan beraninya berjanji
untuk menikahi wanita lain yang tak pernah tahu siapa kau sebenarnya. Dan
ketika kau dihadapkan pada sebuah pilihan, dengan entengnya kau berdalih tak
bisa menyakiti dan mengorbankan seorang yang lain yang lebih dulu hadir di
hidupmu sebelum dia. Akhirnya hubungan kalian binasa.
Aku memandangi secangkir kopi yang
masih menguarkan aroma kesukaanmu. Kopi hitam dengan sedikit gula yang untuk
pertama kalinya tak tandas hingga tuntas. Pertemuanmu dengan Hana yang hanya
berlangsung beberapa saat saja. Meninggalkan secangkir yang belum sempat kalian
nikmati hingga malam tiba. Kalian berlalu begitu saja. Aku masih terpaku tanpa
bisa berbuat apa-apa. Andai kau izinkan aku untuk menahan wanitamu itu dan
memadamkan emosinya, pastilah kalian akan baik-baik saja.
Betapapun kesalahan yang kau buat
pasti ada alasannya. Tak mungkin kau mencintai Hana jika tak terjadi sesuatu
dengan pernikahanmu di sana. Tapi kau adalah pecundang yang takut menghadapi
kenyataan. Hanya berani berkhayal dan bermimpi tapi takut untuk
merealisasikannya. Kau tetap saja salah, tak heran bila Hana meninggalkanmu dan
menyudahi impian kalian.
Andai saja aku bisa berbuat sesuatu untukmu.
Mungkin menjadi penenangmu seperti secangkir kopi yang selalu mampu mengubah bad mood-mu itu. Tapi sayang, kau tak
pernah melihatku. Kau tak pernah ingin mengenalku. Kau tak pernah menyukai
secangkir teh manis sepertiku. Kau penggila kopi hitam dan kau tak berselera
pada secangkir teh manis yang selalu memandangimu dari sudut lain di kedai ini.
Tak mengapa, aku akan tetap
menantikan kehadiranmu seperti biasa. Aku tak akan cemburu pada cangkir kopimu
itu, tak juga pada seorang Hana yang tampaknya akan menjadi kenangan dalam
hidupmu. Karena sekilas aku mendengar Hana berucap, kalau secangkir kopi yang
kalian nikmati tadi akan menjadi secangkir kenangan untuk hubungan kalian yang
kandas di awal jumpa.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com