Jumat, 06 Desember 2019

.


(Bukan) Review Film Trinity Traveler

            Anggap aja ini semacam review atau tulisan ini terinspirasi setelah saya nonton film Trinity Traveler. Saya nggak ada niat buat komentari isi filmnya secara detail, hanya garis besarnya aja yang sebenarnya intinya ada sesuatu yang ingin saya sampaikan tentang kegelisahan pikiran terhadap kehidupan seorang independent women yang belum menikah di usia yang sudah cukup matang. Bicara soal umur, aslinya seorang Trinity itu sudah dewasa banget sehingga rasanya kok kurang cocok aja kalo yang memerankannya adalah seorang Maudy Ayunda yang wajahnya masih imut abis dan style-nya anak kuliahan banget. Mungkin karakternya akan lebih masuk kalo diperankan oleh Nadine Chandrawinata yang kita tahu jiwa ngebolangnya itu dapet banget. Jadi kalo yang meraninnya Maudy Ayunda karakternya kurang dapet kalo menurut saya.
            Apalagi saya pernah bertemu langsung dengan Mbak Trinity yang asli di dunia nyata dua tahun lalu di Ubud. Sosoknya tuh mature banget dan jauh dari kata feminin. But it’s oke, so far film ini mensugesti pikiran saya tentang kehidupan seorang wanita yang nggak merasa khawatir sama yang namanya jodoh. Nah, ini yang bikin saya tertarik, ada beberapa hal dalam film ini yang saya akui kebenarannya, seperti kalau orang sedang jatuh cinta itu bisa merusak fokus pada pekerjaan dan kehidupan pibadi. Emang bener banget sih.
            Dalam film itu menceritakan ketika Trinity sedang jatuh cinta, ia malah kurang fokus dengan tulisannya, jadi terbagi pikirannya dan merusak moodnya. Tapi ketika dia sudah terbebas dari hubungannya dengan Paul pacarnya yang nggak jelas itu, Trinity bisa kembali fokus dengan impiannya dan jalan hidup yang ia pilih sebagai seorang traveler. Ada satu quotes menarik tentang kebahagiaan dalam film ini, menurut Trinity ‘kebahagiaan itu bukan soal tempat atau pasangan hidup, tapi kebahagiaan itu ada di pikiran’. Emang bener sih, punya pasangan hidup atau dapat jodoh belum tentu loh bisa bikin bahagia. Kalau nggak sehati dan nggak sejalan yang ada ya bubar jalan.


 Jadi penulis merangkap traveler tuh asik banget, sumpah!

            Mungkin Trinity atau perempuan lain pada umumnya nggak terlalu menginginkan jodoh yang sesuai ekspektasi, tapi setidaknya yang namanya pasangan hidup itu bisa menjadi bagian hidupnya yang selalu ada. Komunikasi yang baik dan intens itu juga sangat penting dalam sebuah hubungan. Kalau komunikasi aja susah dan kaku, gimana mau hidup bersama satu atap seumur hidup? Setelah nonton film ini kok jiwa traveler saya jadi kembali bergejolak ya? Melihat keasyikan Trinity berpetualang dan berprofesi sebagai penulis traveling kok enjoy banget.
            Dan pikiran saya tentang laki-laki pun jadi semakin terbuka. Mungkin karena apa yang Trinity alami terhadap pacarnya yang kurang menyenangkan itu mempengaruhi penilaian terhadap laki-laki, kalau semua laki-laki itu ya memang sama aja. Nggak ada yang bisa paham dan peka dengan perasaan perempuan walaupun si perempuan sudah blak-blakan mengutarakan kemauannya. Jiaahhh jadi curcol.
            Intinya sih gitu, buat apa punya pasangan kalau nggak selalu ada dan nggak bisa menjadi bagian dari hidup. Punya pacar cuma sekadar jadi teman ngobrol, nonton dan makan itu sih nggak ada faedahnya. Apalagi nggak bisa jadi tempat berbagi, semuanya masih dipendem sendiri. Ya sudahlah jadi seperti Trinity ajah kalo gitu, ngebolang sendiri menikmati hidup tanpa ada yang membebani. Keluarga sih tetap nomor satu, tapi me time juga perlu. Hidup biar gak kebanyakan panik memang harus diimbangi dengan piknik. Setujuuu!
            Dari film ini juga saya bisa ambil hikmah kalo jangan pernah takut dengan usia mature tapi belum menikah juga. Istilah perawan tua itu seharusnya bukan hal yang perlu ditakuti. Tapi takutlah kalo menikah hanya untuk menggugurkan status single aja sedangkan kebahagiaan tidak sama sekali didapatkan. Untuk apa?
            Ini review-nya melebar ke mana-mana ya jadinya, hehe. Tapi tetep toh dalam film ini intinya kan soal menemukan pasangan hidup alias jodoh yang tak kunjung ditemukan juga. Akhirnya tetep lanjut jadi traveler deh. Sebenarnya seru kok hidup bebas dan bisa fokus dengan karier tanpa harus memikirkan hal nggak penting, istilahnya sekarang mah nge-bucin gituh. Baper nggak jelas yang belum tentu si dia juga merasakan hal yang sama. Asek curcol lagi kitah.
            Oya, dalam film ini Trinity mempunyai beberapa sahabat yang selalu mendukungnya dalam berbagai hal. Dan serunya lagi, sahabatnya juga ikut terlibat dalam dunia Trinity, pecinta traveling semua intinya. Jadi inget sama dua sobat ambyar saya Poet dan Ubaidil yang selalu jadi teman traveling dengan bajet minim, yang punya prinsip biar lagi kere asal bisa lanjalan pokoknya kitah, hahahah.
            Jadi kesimpulannya adalah nikmatilah hidupmu selagi bisa. Jangan berkutat dengan hal-hal yang bertentangan dengan kemauanmu. Setiap orang pasti menginginkan sebuah kebebasan yang menyenangkan. Punya pasangan sih oke-oke ajah selagi pasangan tersebut sehati dan sejalan juga nggak bikin kita berubah jadi orang lain dan nggak menjadi beban. So segini aja review plus curcolnya, walopun film ini masih banyak kekurangan dari segi setting dan isinya tapi inti ceritanya kece banget. Jadi pengin ngebolang lagi dah.
***