(Bukan)
Review Film Trinity Traveler
Anggap aja ini semacam review atau tulisan ini terinspirasi
setelah saya nonton film Trinity
Traveler. Saya nggak ada niat buat komentari isi filmnya secara detail,
hanya garis besarnya aja yang sebenarnya intinya ada sesuatu yang ingin saya
sampaikan tentang kegelisahan pikiran terhadap kehidupan seorang independent women yang belum menikah di
usia yang sudah cukup matang. Bicara soal umur, aslinya seorang Trinity itu
sudah dewasa banget sehingga rasanya kok kurang cocok aja kalo yang
memerankannya adalah seorang Maudy Ayunda yang wajahnya masih imut abis dan style-nya anak kuliahan banget. Mungkin
karakternya akan lebih masuk kalo diperankan oleh Nadine Chandrawinata yang
kita tahu jiwa ngebolangnya itu dapet banget. Jadi kalo yang meraninnya Maudy
Ayunda karakternya kurang dapet kalo menurut saya.
Apalagi saya pernah bertemu langsung
dengan Mbak Trinity yang asli di dunia nyata dua tahun lalu di Ubud. Sosoknya
tuh mature banget dan jauh dari kata
feminin. But it’s oke, so far film ini mensugesti pikiran saya
tentang kehidupan seorang wanita yang nggak merasa khawatir sama yang namanya
jodoh. Nah, ini yang bikin saya tertarik, ada beberapa hal dalam film ini yang
saya akui kebenarannya, seperti kalau orang sedang jatuh cinta itu bisa merusak
fokus pada pekerjaan dan kehidupan pibadi. Emang bener banget sih.
Dalam film itu menceritakan ketika
Trinity sedang jatuh cinta, ia malah kurang fokus dengan tulisannya, jadi
terbagi pikirannya dan merusak moodnya. Tapi ketika dia sudah terbebas dari
hubungannya dengan Paul pacarnya yang nggak jelas itu, Trinity bisa kembali
fokus dengan impiannya dan jalan hidup yang ia pilih sebagai seorang traveler. Ada satu quotes menarik tentang
kebahagiaan dalam film ini, menurut Trinity ‘kebahagiaan itu bukan soal tempat
atau pasangan hidup, tapi kebahagiaan itu ada di pikiran’. Emang bener sih,
punya pasangan hidup atau dapat jodoh belum tentu loh bisa bikin bahagia. Kalau
nggak sehati dan nggak sejalan yang ada ya bubar jalan.
Jadi penulis merangkap traveler tuh asik banget, sumpah!
Mungkin Trinity atau perempuan lain pada
umumnya nggak terlalu menginginkan jodoh yang sesuai ekspektasi, tapi
setidaknya yang namanya pasangan hidup itu bisa menjadi bagian hidupnya yang
selalu ada. Komunikasi yang baik dan intens itu juga sangat penting dalam
sebuah hubungan. Kalau komunikasi aja susah dan kaku, gimana mau hidup bersama
satu atap seumur hidup? Setelah nonton film ini kok jiwa traveler saya jadi kembali bergejolak ya? Melihat keasyikan Trinity
berpetualang dan berprofesi sebagai penulis traveling
kok enjoy banget.
Dan pikiran saya tentang laki-laki
pun jadi semakin terbuka. Mungkin karena apa yang Trinity alami terhadap
pacarnya yang kurang menyenangkan itu mempengaruhi penilaian terhadap
laki-laki, kalau semua laki-laki itu ya memang sama aja. Nggak ada yang bisa
paham dan peka dengan perasaan perempuan walaupun si perempuan sudah
blak-blakan mengutarakan kemauannya. Jiaahhh jadi curcol.
Intinya sih gitu, buat apa punya
pasangan kalau nggak selalu ada dan nggak bisa menjadi bagian dari hidup. Punya
pacar cuma sekadar jadi teman ngobrol, nonton dan makan itu sih nggak ada
faedahnya. Apalagi nggak bisa jadi tempat berbagi, semuanya masih dipendem
sendiri. Ya sudahlah jadi seperti Trinity ajah kalo gitu, ngebolang sendiri
menikmati hidup tanpa ada yang membebani. Keluarga sih tetap nomor satu, tapi me time juga perlu. Hidup biar gak kebanyakan
panik memang harus diimbangi dengan piknik. Setujuuu!
Dari film ini juga saya bisa ambil
hikmah kalo jangan pernah takut dengan usia mature
tapi belum menikah juga. Istilah perawan tua itu seharusnya bukan hal yang
perlu ditakuti. Tapi takutlah kalo menikah hanya untuk menggugurkan status single aja sedangkan kebahagiaan tidak
sama sekali didapatkan. Untuk apa?
Ini review-nya melebar ke mana-mana ya jadinya, hehe. Tapi tetep toh
dalam film ini intinya kan soal menemukan pasangan hidup alias jodoh yang tak
kunjung ditemukan juga. Akhirnya tetep lanjut jadi traveler deh. Sebenarnya seru kok hidup bebas dan bisa fokus dengan
karier tanpa harus memikirkan hal nggak penting, istilahnya sekarang mah
nge-bucin gituh. Baper nggak jelas yang belum tentu si dia juga merasakan hal
yang sama. Asek curcol lagi kitah.
Oya, dalam film ini Trinity
mempunyai beberapa sahabat yang selalu mendukungnya dalam berbagai hal. Dan
serunya lagi, sahabatnya juga ikut terlibat dalam dunia Trinity, pecinta traveling semua intinya. Jadi inget sama
dua sobat ambyar saya Poet dan Ubaidil yang selalu jadi teman traveling dengan bajet minim, yang punya
prinsip biar lagi kere asal bisa lanjalan pokoknya kitah, hahahah.
Jadi kesimpulannya adalah nikmatilah
hidupmu selagi bisa. Jangan berkutat dengan hal-hal yang bertentangan dengan
kemauanmu. Setiap orang pasti menginginkan sebuah kebebasan yang menyenangkan.
Punya pasangan sih oke-oke ajah selagi pasangan tersebut sehati dan sejalan
juga nggak bikin kita berubah jadi orang lain dan nggak menjadi beban. So
segini aja review plus curcolnya,
walopun film ini masih banyak kekurangan dari segi setting dan isinya tapi inti ceritanya kece banget. Jadi pengin
ngebolang lagi dah.
***
Cie curcolnya panjang amat.
BalasHapusDirapel curcolnya hahahah
Hapus