Senin, 30 November 2015

Writing Project #DanBernyanyilah



Ternyata Hidupku Indah
Oleh : Mel A.


            “Kok nggak ada tanggung jawabnya, sih? Saya ‘kan belinya di sini!”
            “Bukannya tidak tanggung jawab, Pak. Tapi …”
            “Pokoknya saya nggak mau tahu!”
            Aku tergugu. Sebenarnya perlakuan seperti ini sudah jadi makananku sehari-hari sejak bekerja di toko handphone ini. Menekan emosi sudah menjadi kewajiban karyawan demi memuaskan pelanggan, bahkan untuk pelanggan yang tak tahu aturan.
            “Begini ya, Pak. Mohon dengar dulu penjelasan saya. Prosedur penjualan di toko kami memang tidak memberikan garansi ganti baru untuk pembelian handphone yang masa pembeliannya sudah lebih dari satu hari.”
            “Tapi ini kan baru dua hari, masa sudah mati. Handphone apaan ini?”
            “Sebelumnya maaf ya, Pak. Tidak semua produk memberikan jaminan kualitas yang sama walaupun dengan brand yang sama. Satu atau dua pasti ada yang gagal. Namanya juga buatan manusia, jadi Bapak harap maklum.”
            “Saya kapok belanja di sini. Jual barang jelek nggak ada garansinya lagi!”
            “Bukan nggak ada garansi, Pak. Tapi …”
            “Ah, sudahlah! Pokoknya saya kapok!”
            Laki-laki setengah baya berperawakan sangar itu tak mau mendengar penjelasan apapun lagi dariku. Tapi sebagai karyawan yang baik dan taat aturan perusahaan, aku tetap memberikan senyum terbaikku. Walaupun sebenarnya hati ini panas dan ingin berteriak … “Dasar manusia tak beretika! Tak tahu aturan! Padahal sudah jelas-jelas dari awal diberitahu tentang garansi dan sebagainya mengenai produk yang dibeli, tetap saja tidak mengerti!”
            Selalu kalimat itu yang ingin kuteriakkan kepada setiap pelanggan yang berperilaku seperti tadi. Sampai aku berpikir keras, apa yang salah dengan cara kerjaku? Semua standar operasional  prosedur sudah kujalankan dengan baik. Tapi para pembeli itu yang selalu berulah dan memosisikanku sebagai pihak yang bersalah. Padahal jelas-jelas merekalah yang tak tahu prosedur penjualan dengan baik.
            “Sabar ya, risiko kerja.”
            Selalu kalimat itu yang keluar dari mulut teman-teman seperjuanganku setiap kali harus menghadapi hal seperti ini. Sabar dan berjiwa besar adalah modal utama profesi sebagai seorang sales. Sabar, berjiwa besar dan tahan malu terhadap hinaan, cacian dan makian dari para pembeli yang tak tahu aturan itu. Terkadang membuatku merasa terhina sebagai seorang yang berpendidikan harus bekerja di tempat seperti ini.
            “Aku jenuh …”
            “Setiap manusia pasti merasakan jenuh.”
            “Jenuh dihina-hina terus sama orang yang nggak kita kenal sama sekali.”
            “Risiko profesi.”
            “Aku benci profesi ini.”
            “Kenapa nggak cari yang baru?”
            “Emang cari kerja gampang?”
            “Udah tahu kenapa mengeluh? Hadapi dong. Kalo cuma mengeluh malah tambah terasa bebannya. Dibawa enjoy, inilah hidup, nggak hanya ada hal suka dan yang baik-baik saja. Ada masanya kita berada di titik nadir.”
            “Ngomong gampang ya.”
            “Kamu tuh ya. Nggak bersyukur itu namanya.”
            Sejenak aku termangu mendengar penuturan Mulan, rekan sekerjaku. Dalam hati aku membenarkan perkataannya tadi. Tapi tetap saja hatiku memberontak dan tak terima dengan apa yang kualami. Selalu saja ada kejadian yang membuat semangat hidupku melemah. Selalu saja persoalan demi persoalan yang tak kunjung henti. Masalah kerjaan, keluarga, hingga percintaan. Aku tak pernah seberuntung teman-temanku yang lain. Apa yang salah dengan hidupku?
***
            Namaku Sarah. Sudah hampir setahun betah bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang retail. Produk yang harus aku jual adalah handphone beserta asesorisnya. Sebenarnya tempat kerjaku menyenangkan, hanya saja para pembeli yang terkadang membuatku kesal dan harus menahan emosi. Teman-teman kerjaku mengasyikkan, saling support dan tolong menolong dalam berbagai hal. Hanya saja atasanku yang terkadang menyebalkan.
            Kembali aku mengeluh, kenapa selalu saja ada hal-hal tak menyenangkan hadir di kehidupanku. Sekarang aku harus berhadapan dengan atasan yang arogan, tak punya belas kasihan. Membuat peraturan yang tak memperhatikan kemampuan karyawan. Sebenarnya apa yang salah? Aku yang pengeluh atau atasanku yang semena-mena? Hidup tak pernah ada titik temunya. Seperti aku dan Fe yang tak pernah bisa bersatu. Atau salahku mencintai laki-laki yang levelnya jauh di atasku?
            Aku ini apalah, hanya pemimpi yang bak pungguk merindukan Bulan. Hanya seorang Sarah yang merindukan perhatian Fe, rekan kerjaku yang jauh lebih beruntung dariku dengan posisi sebagai seorang supervisor. Sedang aku? Hanya penjaga toko yang setiap harinya harus siap dengan hinaan dan makian para Raja itu. Pembeli adalah Raja, bukan?
            Tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa membuatku bersemangat untuk melanjutkan hidup. Kerjaan membosankan, pacar tak punya, keluarga berantakan. Ya Tuhan, apa salah hamba? Tak bisakah aku bahagia walau sekejap saja? Apa yang bisa membuatku bahagia? Apa bahagia itu harus punya uang banyak? Punya pacar ganteng, kaya dan berpendidikan, seperti Fe. Lagi-lagi Fe! Ah, andai laki-laki itu tahu.
            “Ikut gue yuk.”
            “Ke mana?” Sahutku acuh saat Mulan mengajakku pergi ke suatu tempat.
            “Pokoknya tempatnya asik, keren.”
            “Tempat apaan sih?”
            “Udah ikut aja. Nyesel lo kalo nggak ikutan. Pokoknya bisa ngilangin stress deh.”
            “Jangan bilang kalo lo mau ngajak gue dugem.”
            “Emang masih zaman ya dugem? Hahahaha.”
            “Terus?”
            “Bawel! Udah buruan siap-siap. Gue tinggalin lo!”
            “Iye, tunggu bentar nape!”
            Sepertinya aku butuh hiburan untuk menghilangkan penat. Mulan memang satu-satunya teman yang paling menyenangkan untuk diajak have fun. Dia selalu tahu tempat yang bisa membuatku betah dan nyaman. Sepertinya aku beruntung memiliki sahabat seperti Mulan. Syukurlah, ternyata aku masih memiliki satu hal terbaik dalam hidup, sahabat!
***
            “Ngapain ke sini? Mau shopping? Tanggal berapa ini?”
            “Siapa juga yang mau shopping. Udah tinggal ikut aja juga, bawel!”
            Aku mengikuti langkah kecil Mulan dari belakang. Pusat pertokoan ini tempat biasa aku dan Mulan menghabiskan uang insentif bulanan kami untuk membeli keperluan khas perempuan. Tiba-tiba aku melihat hal yang tak biasa di depan gerbang pusat pertokoan yang dipenuhi dengan patung kuda berwarna hijau tua itu. Aku melihat dua perempuan muda, kuperkirakan usianya sebaya denganku, dua puluhan, sedang menari-nari di depan pintu sebuah toko handphone.
            “Heh? Mereka lagi ngapain?” tanyaku seraya menggamit lengan Mulan.
            “Perhatikan mereka baik-baik, ya. Setelah ini gue jamin, lo bakalan berhenti ngeluh sama kerjaan lo.” Sahut Mulan sambil tersenyum simpul.
            Kedua perempuan itu terus menari, modern dance. Pakaian yang mereka kenakan sederhana, tidak menyolok dan menimbulkan kesan vulgar. Yang menarik perhatian para pengunjung adalah cara mereka menyambut setiap pelanggan yang melewati toko itu. Mereka menyambutnya dengan tarian dan salam dewi. Salam dewi yang selalu diajarkan atasanku di toko. Mengatupkan kedua tangan di depan dada dengan sedikit membungkuk.
            Satu hal yang lebih menarik perhatianku adalah alunan lagu yang mengiringi kedua perempuan itu menari. Dengan bit yang menghentak dan lirik lagu yang menimbulkan semangat. Tanpa sadar membuatku terpaku dan ingin mendengar lagu itu sampai bait terakhir.

Saat dirimu
Terhanyut dalam sedih yang kau rasakan
Seperti mendung hitam

Cobalah engkau sadari
Bahwa hidup ini terlalu indah
Untuk ditangisi

Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka

Dengarkan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah

Saat jiwamu
Terlarut dalam gundah dan seakan
Tiada jalan keluar

Cobalah engkau pahami
Bahwa hidup ini terlalu singkat
Untuk disesali

Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan

            Lagu itu benar-benar membiusku. Bukan dua perempuan tadi yang kini menarik perhatianku, tapi lagu itu. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri, tiba-tiba ada semangat yang menyusup begitu saja saat mendengar lirik lagu tadi. Entah kekuatan apa yang ada di lagu tersebut, membuatku bersemangat dan melupakan sejenak segala permasalahan yang selama ini kuanggap membebani pikiran.
            Mungkin kedua perempuan tadi yang membuatku merasa bahwa masih banyak orang yang tak memiliki pekerjaan seberuntung aku. Aku hanya perlu menahan malu di dalam toko, sedangkan kedua perempuan itu? Hebat sekali mereka mampu menahan malu di luar toko. Aku saja belum tentu mampu menjalani pekerjaan seperti itu. Pekerjaan yang terbilang unik dan baru kali ini aku menemui ada pekerjaan seperti itu.
            “Terobosan baru, menarik pengunjung dengan tarian di depan pintu toko.”
            Suara Mulan menggugah lamunanku.
            “Asyik ‘kan tempatnya. Hiburan gratis, hihihi.”
            Aku mendengar suara Mulan sambil lalu, lebih menikmati lagu dan penampilan kedua perempuan tadi. Berkali-kali mengucap syukur dalam hati dengan pekerjaan sekarang yang aku miliki. Bodohnya aku terlalu banyak mengeluhkan hal-hal yang kuanggap buruk dalam hidupku. Padahal apa yang kualami sebenarnya hanyalah sedikit ujian dalam hidup. Sebenarnya bukan ujian juga, tapi memang alur kehidupan yang sudah semestinya aku jalani dengan besar hati.
            Aku masih beruntung memiliki sahabat sebaik Mulan yang selalu mengerti suasana hati dalam segala kondisi. Keluargaku mungkin hanya masalah komunikasi, kalau aku tak terlalu sibuk dengan diri sendiri, seharusnya aku bisa lebih dekat dengan kedua orang tua. Setiap pekerjaan selalu berisiko apapun itu bentuknya, kenapa harus dikeluhkan? Dan Fe? Bukankah stok laki-laki bukan hanya Fe di dunia ini.
            Apa yang salah dengan diriku? Tak ada. Yang salah hanyalah pikiranku yang selalu negatif dalam mensugesti diri sendiri. Aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi jika aku berkeinginan kuat untuk meneruskan pendidikan. Aku bisa mendapatkan kekasih idaman seperti Fe jika aku memperbaiki kualitas diri. Tak ada yang salah dengan hidupku. Tak ada duka atau lara. Tak ada yang perlu disesali atau dikeluhkan lagi.
            “Mulan, thanks ya.”
            “Buat apa?”
            “Sudah mengenalkan aku pada lagu ini.”
            “Lagu? Lagu apa?”
            “Lagu yang membuatku semangat hari ini, besok dan besoknya lagi. Selamanya.”
            Mulan menatapku heran, tapi kemudian tertawa saat melihatku ikut bergoyang mengikuti alunan Musikimia yang mengiringi kedua perempuan dancer tadi. Hidupku ternyata indah, terima kasih Tuhan.
***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co

 
             

Selasa, 12 Mei 2015

Cerpen untuk Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis


From Socmed Becomes Roommate
Oleh : Mel A.



            Aku mengenalnya melalui dunia maya. Namanya Puput Palipuring Tyas. Seperti namanya, gadis itu memang jagonya menjadi pelipur lara, kerap menghiburku dalam segala suasana. Chemistry seolah telah ditakdirkan untuk menyatukan persahabatan kami. Walaupun persahabatan yang kami jalani melalui long distance friendship, tapi kami sudah seperti prangko dan amplopnya.
            Berawal dari sebuah e-mail yang kuterima darinya, yang isinya memberitahukan bahwa ia telah mengikuti event launching novel perdanaku. Tak disangka, ternyata Puput juga seorang penulis yang bahkan lebih matang di dunia kepenulisan dibanding aku. Entah kebetulan atau memang sudah skenario Tuhan, kami seperti sudah diperjodohkan untuk menjadi sepasang sahabat yang selalu mempunyai alur kisah kehidupan yang nyaris sama.
            Aku dan Puput memang penghayal, namanya juga penulis. Kami membuat banyak sekali rencana dan berusaha mewujudkan impian kami bersama-sama. Kami yang penggila travelling ini membuat banyak sekali daftar tempat yang harus kami kunjungi di setiap kopi darat kami nanti. Aku dan Puput juga penggila sastra, UWRF (Ubud Writers and Readers Festival) adalah impian pertama kami untuk mewujudkan pertemuan pertama di dunia nyata.
            “Put, kita harus jadi bagian dari UWRF.”
            “Setuju, Kak. Mari mulai menyusun agenda impian kita.”
            Usiaku dan Puput memang terpaut jauh, hampir sepuluh tahun selisihnya. Tapi kami seolah tak menemukan sedikitpun perbedaan usia. Kami sama-sama percaya, bahwa apa yang kami tuliskan untuk merancang impian disertai keyakinan yang kuat, itulah yang akan kami alami di masa yang akan datang. Aku dan Puput selalu yakin, suatu saat nanti pasti semua impian yang kami buat akan menjadi nyata.
***
            Skenario Tuhan memang sangat indah, sepertinya Dia sungguh merestui persahabatanku dan Puput. Apapun yang kami rencanakan selalu bisa terwujud. Termasuk menjadi bagian dari kemegahan pesta UWRF, yang berhasil mempertemukanku dan Puput untuk pertama kali di dunia nyata. Di bandara Ngurah Rai, adegan dramatis pertemuan dua sahabat pun terjadi. Pelukan erat dan tangisan bahagia mengawali petualanganku dan Puput di Pulau Dewata ini.
            “Wah, perjuangan kita luar biasa ya, Kak.”
            From socmed becomes roommate nih ceritanya kita.”
            Sungguh dream come true, hampir satu tahun kami merancang impian untuk bisa bertemu di dunia nyata. Berbagai aral yang sempat merintang pun dengan sangat ringan kami hadapi bersama. Keberuntungan seolah selalu menyertai dalam perwujudan impian kami. Aku dan Puput menghabiskan lima hari di Ubud dengan mengikuti acara festival para penggiat sastra dari seluruh penjuru dunia. Sangat bangga bisa berada di antara para penulis terkenal yang sebelumnya hanya bisa kami lihat di layar kaca.
            Our dream come true, Put.”
            We were make it happen, Sist.”
            Puput bagiku seperti sesosok tongkat ajaib, yang mampu mewujudkan beberapa impian indahku. Sejak mengenalnya, aku bisa berada di tempat yang sebelumnya hanya ada dalam imajinasiku saja. Hanya dengan bim salabim, bersama Puput aku menjelma petualang sejati. Bersama Puput, aku menemukan banyak hal yang luar biasa menjadi penyemangat hidup.
            Selama di Ubud, kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menyusuri setiap jengkal eksotisnya Pulau Dewata ini. Keindahan panorama alamnya mampu me-refresh otakku yang penat karena keseharian aktivitas monoton di tempat kerja. Saat pagi hari selama di Ubud, kami selalu menyempatkan diri menikmati ritual masyarakat Ubud yang membuat banten untuk diletakkan di depan kediaman mereka. Sungguh adat istiadat yang menarik.
             Acara UWRF merupakan surga bagi para penggiat sastra. Aku dan Puput sangat bersyukur bisa dipertemukan di tempat seindah ini, di tengah euforia acara tahunan yang fenomenal bagi para penulis. Bukan hanya pesona budayanya yang membuat kami takjub, tapi keramahan penduduk lokal setempat menambah betah untuk tinggal lebih lama lagi di sini.
            “Apa lagi impian kita setelah ini, Kak?”
            “Bagaimana dengan Belitung?”
            “Wow, pulaunya Laskar Pelangi. Mari kita mulai menuliskan impian lagi menuju Belitung, Kak.”
            “Tambahin keterangan di buku mimpi kita, kalo ke Belitungnya gratis yaa, hehe.”
            “Bismillah, Kak. Nggak ada yang nggak mungkin asal kita yakin dan berusaha.”
            Persahabatan ini bagai sebuah keajaiban bagi kami. Mampu mewujudkan hal yang mustahil, menyulap mimpi menjelma nyata. Puput yang suka berfilosofi mengumpamakan persahabatan kami seperti handuk, yang selalu bisa menghangatkan, membersihkan kotoran seumpama aib, bahkan mengompres kening di kala sakit. Seperti itulah makna persahabatan bagi kami. Selalu berusaha saling mencintai dan menemani tanpa melihat kondisi. Serta selalu menyimpan rapat setiap curahan hati di antara kami.
            Aku dan Puput yang berjarak dan hanya mengandalkan keberuntungan bila ingin saling bersentuh raga, selalu mengandalkan keyakinan dari impian indah kami untuk berkeliling dunia. Kami telah membuktikannya, berawal dari sosial media hingga akhirnya bertemu dalam sebuah ruangan hangat dan menghabiskan waktu bersama.
Sungguh persahabatan yang indah, tidak hanya dalam makna hubungannya, tapi juga dalam menjalaninya di dunia nyata. Indah karena kami bertekad untuk selalu bisa bertemu di tempat-tempat terindah di penjuru tanah air tercinta ini, hingga penjuru dunia.
***
           


Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis