Ada yang suka nonton ‘Catatan Hati Seorang Istri’ di RCTI?
Kalau bukan sinetron yang diadaptasi dari bukunya Bunda Asma Nadia, mungkin aku
nggak begitu tertarik buat ngikutin tayangannya. Tapi berhubung Bunda Asma
Nadia adalah salah satu penulis favoritku, jadi aku merasa ‘wajib’ nonton.
(Duh, kenapa nggak dibikin versi layar lebar aja sih, Bun?)
Catatan Hati seorang Istri
ini kalau dalam versi bukunya merupakan kumpulan kisah inspiratif. Sayang
sekali masih ada di daftar antrian buku yang wajib saya beli, jadi belum bisa
meresensi, hihihi. (Makanya nonton filmnya aja dulu … he.)
Tapi kali ini saya nggak
bermaksud mengupas tentang buku atau film Catatan Hati Seorang Istri. Anggap
aja cuma prolog buat gambaran dari apa yang mau saya tulis kali ini. Masih ada
hubungannya kok, soalnya ini berkaitan dengan hubungan sepasang suami istri
yang tengah diuji kesetiaannya.
Dalam suatu hubungan, apa
pun itu, pasti nggak lepas dari yang namanya masalah, itu hal yang wajar.
Masalah yang timbul bisa jadi dari pihak istri atau suami. Untuk masalah
kesetiaan, pasti ada yang namanya pihak ketiga, sebut saja si penggoda. Nah,
masalahnya … apakah akan terjadi masalah bila si penggoda tak berhasil
menggoda? Itu tandanya tak ada yang tergoda, kan? Kalau ada? Berarti siapa yang
salah dong? Apakah si penggoda? Toh kalau yang digoda nggak tergoda juga nggak
akan terjadi yang namanya perselingkuhan, bukan?
Jangan bingung dulu, intinya
gini. Siapapun pihak yang merasa dirugikan dengan hadirnya pihak ketiga kalau
menurut saya bukanlah hal yang pantas untuk diributkan. Justru itu seharusnya jadi
bahan introspeksi diri. Kok bisa jadi begini sih? Kenapa? Apa yang salah? Sebab
bermula dari akibat lhoo, nggak mungkin ada asap kalo nggak ada api. Jadi
intinya, untuk menghadapi pasangan yang tergoda nggak perlu pake emosi. Berkaca
aja pada diri sendiri. Apa yang salah dalam diri sehingga tidak bisa mengikat
hati pasangan, sampai-sampai pasangan bisa berpaling ke lain hati (baca:
tergoda). Kalau masalah tabiat mungkin itu cuma kambing hitam dan alasan untuk
menghibur diri sendiri untuk menutupi rasa malu dan nggak mau dipersalahkan
(baca: membela diri).
Manusiawi sekali kalau
khilaf bisa terjadi. Tapi si penggoda nggak akan berhasil kalau yang digoda
punya iman yang kuat dan keteguhan hati untuk nggak pindah ke lain hati. Dalam
hal ini saya nggak memihak kubu si penggoda atau yang tergoda. Saya berada di
tengah-tengah sajalah. Nggak mau nyalahin siapa-siapa. Yang pasti cuma butuh
antisipasi dini agar jangan sampai mengalami. Jangan jadikan khilaf sebagai
tameng mengatasnamakan ‘hanya manusia biasa’. Sebab bila sudah khilaf
berkepanjangan akan sulit untuk dihilangkan.
Siapa yang bisa melarang
orang jatuh cinta? Siapa yang bisa menahan hati bila sudah tak merasa nyaman
dan ingin pergi? Kesetiaan terletak pada kenyamanan dan terpenuhinya kebutuhan,
jadi bila pasangan Anda sudah tak setia, berarti dia sudah nggak nyaman lagi
dengan Anda, dan ada sesuatu yang nggak terpenuhi kebutuhannya. Bukannya udah
nggak cinta atau hilang rasa sayang, faktanya pasangan yang berselingkuh masih
bisa mempertahankan hubungan dengan pihak pertama kok. (Survey membuktikan
lhoo.)
Khilaf dan musibah nggak
akan terjadi bila mampu mawas diri. Cinta itu ibarat tumbuhan, perlu dijaga,
dirawat, dipelihara dengan baik. Akan tumbuh subur bila selalu diberi asupan
bergizi. Intinya dalam sebuah hubungan yang dibutuhkan hanyalah take and give,
itu aja kok. Tabiat jelek, akhlak bejat dan sifat yang berkarat masih bisa diperbaiki
lho, asal ya itu tadi, terpenuhi semua kebutuhannya. Jadi bukan alasan kalo
pihak pertama sudah setia mati-matian kok masih bisa tergoda juga? Sudah tahu
jawabannya, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar