Ternyata Hidupku Indah
Oleh : Mel A.
“Kok nggak ada tanggung jawabnya,
sih? Saya ‘kan belinya di sini!”
“Bukannya tidak tanggung jawab, Pak.
Tapi …”
“Pokoknya saya nggak mau tahu!”
Aku tergugu. Sebenarnya perlakuan
seperti ini sudah jadi makananku sehari-hari sejak bekerja di toko handphone
ini. Menekan emosi sudah menjadi kewajiban karyawan demi memuaskan pelanggan,
bahkan untuk pelanggan yang tak tahu aturan.
“Begini ya, Pak. Mohon dengar dulu
penjelasan saya. Prosedur penjualan di toko kami memang tidak memberikan
garansi ganti baru untuk pembelian handphone yang masa pembeliannya sudah lebih
dari satu hari.”
“Tapi ini kan baru dua hari, masa
sudah mati. Handphone apaan ini?”
“Sebelumnya maaf ya, Pak. Tidak
semua produk memberikan jaminan kualitas yang sama walaupun dengan brand yang sama. Satu atau dua pasti ada
yang gagal. Namanya juga buatan manusia, jadi Bapak harap maklum.”
“Saya kapok belanja di sini. Jual
barang jelek nggak ada garansinya lagi!”
“Bukan nggak ada garansi, Pak. Tapi
…”
“Ah, sudahlah! Pokoknya saya kapok!”
Laki-laki setengah baya berperawakan
sangar itu tak mau mendengar penjelasan apapun lagi dariku. Tapi sebagai
karyawan yang baik dan taat aturan perusahaan, aku tetap memberikan senyum
terbaikku. Walaupun sebenarnya hati ini panas dan ingin berteriak … “Dasar manusia tak beretika! Tak tahu
aturan! Padahal sudah jelas-jelas dari awal diberitahu tentang garansi dan
sebagainya mengenai produk yang dibeli, tetap saja tidak mengerti!”
Selalu kalimat itu yang ingin
kuteriakkan kepada setiap pelanggan yang berperilaku seperti tadi. Sampai aku
berpikir keras, apa yang salah dengan cara kerjaku? Semua standar operasional prosedur sudah kujalankan dengan baik. Tapi
para pembeli itu yang selalu berulah dan memosisikanku sebagai pihak yang
bersalah. Padahal jelas-jelas merekalah yang tak tahu prosedur penjualan dengan
baik.
“Sabar ya, risiko kerja.”
Selalu kalimat itu yang keluar dari
mulut teman-teman seperjuanganku setiap kali harus menghadapi hal seperti ini.
Sabar dan berjiwa besar adalah modal utama profesi sebagai seorang sales.
Sabar, berjiwa besar dan tahan malu terhadap hinaan, cacian dan makian dari
para pembeli yang tak tahu aturan itu. Terkadang membuatku merasa terhina
sebagai seorang yang berpendidikan harus bekerja di tempat seperti ini.
“Aku jenuh …”
“Setiap manusia pasti merasakan
jenuh.”
“Jenuh dihina-hina terus sama orang
yang nggak kita kenal sama sekali.”
“Risiko profesi.”
“Aku benci profesi ini.”
“Kenapa nggak cari yang baru?”
“Emang cari kerja gampang?”
“Udah tahu kenapa mengeluh? Hadapi
dong. Kalo cuma mengeluh malah tambah terasa bebannya. Dibawa enjoy, inilah
hidup, nggak hanya ada hal suka dan yang baik-baik saja. Ada masanya kita
berada di titik nadir.”
“Ngomong gampang ya.”
“Kamu tuh ya. Nggak bersyukur itu
namanya.”
Sejenak aku termangu mendengar
penuturan Mulan, rekan sekerjaku. Dalam hati aku membenarkan perkataannya tadi.
Tapi tetap saja hatiku memberontak dan tak terima dengan apa yang kualami.
Selalu saja ada kejadian yang membuat semangat hidupku melemah. Selalu saja
persoalan demi persoalan yang tak kunjung henti. Masalah kerjaan, keluarga,
hingga percintaan. Aku tak pernah seberuntung teman-temanku yang lain. Apa yang
salah dengan hidupku?
***
Namaku Sarah. Sudah hampir setahun
betah bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang retail. Produk yang harus
aku jual adalah handphone beserta asesorisnya. Sebenarnya tempat kerjaku
menyenangkan, hanya saja para pembeli yang terkadang membuatku kesal dan harus
menahan emosi. Teman-teman kerjaku mengasyikkan, saling support dan tolong
menolong dalam berbagai hal. Hanya saja atasanku yang terkadang menyebalkan.
Kembali aku mengeluh, kenapa selalu
saja ada hal-hal tak menyenangkan hadir di kehidupanku. Sekarang aku harus
berhadapan dengan atasan yang arogan, tak punya belas kasihan. Membuat
peraturan yang tak memperhatikan kemampuan karyawan. Sebenarnya apa yang salah?
Aku yang pengeluh atau atasanku yang semena-mena? Hidup tak pernah ada titik
temunya. Seperti aku dan Fe yang tak pernah bisa bersatu. Atau salahku
mencintai laki-laki yang levelnya jauh di atasku?
Aku ini apalah, hanya pemimpi yang
bak pungguk merindukan Bulan. Hanya seorang Sarah yang merindukan perhatian Fe,
rekan kerjaku yang jauh lebih beruntung dariku dengan posisi sebagai seorang
supervisor. Sedang aku? Hanya penjaga toko yang setiap harinya harus siap
dengan hinaan dan makian para Raja itu. Pembeli adalah Raja, bukan?
Tidak ada satu pun di dunia ini yang
bisa membuatku bersemangat untuk melanjutkan hidup. Kerjaan membosankan, pacar
tak punya, keluarga berantakan. Ya Tuhan, apa salah hamba? Tak bisakah aku
bahagia walau sekejap saja? Apa yang bisa membuatku bahagia? Apa bahagia itu
harus punya uang banyak? Punya pacar ganteng, kaya dan berpendidikan, seperti
Fe. Lagi-lagi Fe! Ah, andai laki-laki itu tahu.
“Ikut gue yuk.”
“Ke mana?” Sahutku acuh saat Mulan
mengajakku pergi ke suatu tempat.
“Pokoknya tempatnya asik, keren.”
“Tempat apaan sih?”
“Udah ikut aja. Nyesel lo kalo nggak
ikutan. Pokoknya bisa ngilangin stress deh.”
“Jangan bilang kalo lo mau ngajak
gue dugem.”
“Emang masih zaman ya dugem?
Hahahaha.”
“Terus?”
“Bawel! Udah buruan siap-siap. Gue
tinggalin lo!”
“Iye, tunggu bentar nape!”
Sepertinya aku butuh hiburan untuk menghilangkan
penat. Mulan memang satu-satunya teman yang paling menyenangkan untuk diajak have fun. Dia selalu tahu tempat yang bisa
membuatku betah dan nyaman. Sepertinya aku beruntung memiliki sahabat seperti
Mulan. Syukurlah, ternyata aku masih memiliki satu hal terbaik dalam hidup,
sahabat!
***
“Ngapain ke sini? Mau shopping? Tanggal berapa ini?”
“Siapa juga yang mau shopping. Udah tinggal ikut aja juga,
bawel!”
Aku mengikuti langkah kecil Mulan
dari belakang. Pusat pertokoan ini tempat biasa aku dan Mulan menghabiskan uang
insentif bulanan kami untuk membeli keperluan khas perempuan. Tiba-tiba aku
melihat hal yang tak biasa di depan gerbang pusat pertokoan yang dipenuhi
dengan patung kuda berwarna hijau tua itu. Aku melihat dua perempuan muda, kuperkirakan
usianya sebaya denganku, dua puluhan, sedang menari-nari di depan pintu sebuah
toko handphone.
“Heh? Mereka lagi ngapain?” tanyaku
seraya menggamit lengan Mulan.
“Perhatikan mereka baik-baik, ya.
Setelah ini gue jamin, lo bakalan berhenti ngeluh sama kerjaan lo.” Sahut Mulan
sambil tersenyum simpul.
Kedua perempuan itu terus menari, modern dance. Pakaian yang mereka
kenakan sederhana, tidak menyolok dan menimbulkan kesan vulgar. Yang menarik
perhatian para pengunjung adalah cara mereka menyambut setiap pelanggan yang
melewati toko itu. Mereka menyambutnya dengan tarian dan salam dewi. Salam dewi
yang selalu diajarkan atasanku di toko. Mengatupkan kedua tangan di depan dada
dengan sedikit membungkuk.
Satu hal yang lebih menarik
perhatianku adalah alunan lagu yang mengiringi kedua perempuan itu menari.
Dengan bit yang menghentak dan lirik lagu yang menimbulkan semangat. Tanpa
sadar membuatku terpaku dan ingin mendengar lagu itu sampai bait terakhir.
Saat dirimu
Terhanyut dalam sedih yang kau rasakan
Seperti mendung hitam
Cobalah engkau sadari
Bahwa hidup ini terlalu indah
Untuk ditangisi
Dan bernyanyilah
Senandungkan isi suara hati
Bila kau terluka
Dengarkan alunan lagu
Yang mampu menyembuhkan lara hati
Warnai hidupmu kembali
Menarilah
Bernyanyilah
Saat jiwamu
Terlarut dalam gundah dan seakan
Tiada jalan keluar
Cobalah engkau pahami
Bahwa hidup ini terlalu singkat
Untuk disesali
Nyanyikan apa yang kau rasakan
Rasakan apa yang kau nyanyikan
Lagu itu benar-benar membiusku.
Bukan dua perempuan tadi yang kini menarik perhatianku, tapi lagu itu. Tanpa
sadar aku tersenyum sendiri, tiba-tiba ada semangat yang menyusup begitu saja
saat mendengar lirik lagu tadi. Entah kekuatan apa yang ada di lagu tersebut,
membuatku bersemangat dan melupakan sejenak segala permasalahan yang selama ini
kuanggap membebani pikiran.
Mungkin kedua perempuan tadi yang
membuatku merasa bahwa masih banyak orang yang tak memiliki pekerjaan
seberuntung aku. Aku hanya perlu menahan malu di dalam toko, sedangkan kedua
perempuan itu? Hebat sekali mereka mampu menahan malu di luar toko. Aku saja
belum tentu mampu menjalani pekerjaan seperti itu. Pekerjaan yang terbilang
unik dan baru kali ini aku menemui ada pekerjaan seperti itu.
“Terobosan baru, menarik pengunjung
dengan tarian di depan pintu toko.”
Suara Mulan menggugah lamunanku.
“Asyik ‘kan tempatnya. Hiburan
gratis, hihihi.”
Aku mendengar suara Mulan sambil
lalu, lebih menikmati lagu dan penampilan kedua perempuan tadi. Berkali-kali
mengucap syukur dalam hati dengan pekerjaan sekarang yang aku miliki. Bodohnya
aku terlalu banyak mengeluhkan hal-hal yang kuanggap buruk dalam hidupku.
Padahal apa yang kualami sebenarnya hanyalah sedikit ujian dalam hidup.
Sebenarnya bukan ujian juga, tapi memang alur kehidupan yang sudah semestinya
aku jalani dengan besar hati.
Aku masih beruntung memiliki sahabat
sebaik Mulan yang selalu mengerti suasana hati dalam segala kondisi. Keluargaku
mungkin hanya masalah komunikasi, kalau aku tak terlalu sibuk dengan diri
sendiri, seharusnya aku bisa lebih dekat dengan kedua orang tua. Setiap
pekerjaan selalu berisiko apapun itu bentuknya, kenapa harus dikeluhkan? Dan
Fe? Bukankah stok laki-laki bukan hanya Fe di dunia ini.
Apa yang salah dengan diriku? Tak
ada. Yang salah hanyalah pikiranku yang selalu negatif dalam mensugesti diri
sendiri. Aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi jika aku
berkeinginan kuat untuk meneruskan pendidikan. Aku bisa mendapatkan kekasih
idaman seperti Fe jika aku memperbaiki kualitas diri. Tak ada yang salah dengan
hidupku. Tak ada duka atau lara. Tak ada yang perlu disesali atau dikeluhkan
lagi.
“Mulan, thanks ya.”
“Buat apa?”
“Sudah mengenalkan aku pada lagu
ini.”
“Lagu? Lagu apa?”
“Lagu yang membuatku semangat hari
ini, besok dan besoknya lagi. Selamanya.”
Mulan menatapku heran, tapi kemudian
tertawa saat melihatku ikut bergoyang mengikuti alunan Musikimia yang mengiringi kedua perempuan dancer tadi. Hidupku ternyata indah, terima kasih Tuhan.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DanBernyanyilah yang diselenggarakan oleh Musikimia, Nulisbuku.com dan Storial.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar